Latar Belakang untuk Memahami Alquran

(1) Secara genre sastra, Alquran adalah puisi. Sementara itu, hampir seluruh alih bahasa Alquran yang tersedia biasanya dilakukan dalam genre non-puisi. Ini adalah suatu distorsi yang amat bermasalah bagi memahami teks-teks Alquran.

(2) Saya berpandangan bahwa Alquran adalah karya sastra (transmisi kearifan dalam bentuk bahasa) yang diilhami Allah – bahasa umat Islam adalah wahyu, sedangkan bahasa modernnya adalah, “inspired by God”. Bagaimana pun, puisi yang amat indah dan mendalam, dengan struktur yang kuat dan unik, serta kosakata dan diksi yang terpilih, dan seterusnya, adalah wahyu ilahi yang membuat kualitas penyair berbeda-beda, apakah syair yang dihasilkannya adalah mahakarya atau bukan.

(3) Selain alih bahasa dalam genre non-puisi, penerjemahan genre puisi ke dalam bahasa asing tetap akan menghasilkan distorsi, apalagi jika terdapat struktur dan kode seperti akrostik, rima, penekanan bunyi, matra, dan seterusnya.

(4) Alquran merupakan karya sastra ilahi yang sangat luar biasa karena hampir sukar ditandingi estetika dan kedalamannyanya menurut bahasa Arab purba saat itu, sama seperti ketika beberapa ribu tahun sebelumnya muncul puisi yang kita kenal sebagai kitab Ayub, dalam bahasa yang bisa saya sebut sebagai paleo-Arab purba.

(5) Dalam hal estetika, pola medrasse dalam Alquran yang dapat disenandungkan, merupakan keunggulannya sebagaimana halnya Mazmur yang diwahyukan dalam bahasa Ibrani dan kemudian memiliki kode not musik dalam Teks Masoretik. Sementara itu dalam hal kedalaman, gaya midrash dalam Alquran dalam bentuk puisi adalah di antara gaya kontemplatif yang membuatnya semakin sukar ditandingi.

(6) Telah terjadi kanonisasi sebanyak dua kali ke atas teks-teks Alquran yang mana setiap murid yang menerima sampradaya Muhammad SAW memiliki salinannya, terutama yang disalin oleh murid utamanya Imam Ali (yang kelak meneruskannya sebagai guru dalam suksesi guru, atau tradisi parampara), Fatimah Az-Zahra, putrinya dan istri Imam Ali, serta Zaid ibn Tobit, juru tulis Muhammad SAW sejak di Madinah.

(7) Kanonisasi pertama pada masa khalifah Usman, tidak mengindikasikan pengharaman total salinan-salinan lain, melainkan hanya upaya untuk menerbitkan antologi resmi, yang tampaknya berkaitan dengan penyeragaman aksara yang digunakan. Perlu diingat bahwa perkembangan bahasa-bahasa rumpun Semit (dan bahasa-bahasa secara umum) amatlah rumit. Ada kalanya suatu bahasa menggunakan aksara bahasa asing, seperti terjadi di Yaman, ada teks-teks Alkitab dalam bahasa Ibrani ditulis dalam aksara Arab. Ini seperti juga bahasa Melayu dan bahasa Jawa ditulis dalam sistem aksara Arab-Persia dikenal sebagai aksara Jawi dan Pegon.

(8) Namun, kanonisasi kedua pada masa khalifah Abdul Malik, di bawah kepanitiaan Al-Hajjaj, mengindikasikan pengharaman terhadap salinan-salinan lain. Kanonisasi kedua ini merupakan bentuk unifikasi atau penyeragaman, dalam hal pemberian diakritik, dan kemudian pelafalan dalam menyenandungkan. Ia mulai dilakukan 5-7 tahun setelah peristiwa Karbala (680 M), untuk memulihkan citra dinasti Umayyah.

(9) Mengetahui pembentukan komite kanonisasi ini, Muhammad Al-Hanafiyyah sebagai pemuka klan Hashimiyah (klan Muhammad SAW dan Imam Ali) saat itu berusaha meletakkan kader-kader terbaiknya (yang menerima sampradaya Imam Ali, Hasan, dan Husein) ke dalam komite. Sementara itu ia sendiri bernegoisasi dengan Abdul Malik demi menyintaskan sampradaya Muhammad SAW, karena menyadari Abdul Malik dan Al-Hajjaj sedang menciptakan agama baru: Neo-Islam yang akan melahirkan Pseudo-Islam. Sejarawan Fred M. Donner menegaskan syarahan menurut sampradaya Daudiyah-Bektashiyah, bahwa Islam yang kita kenal hari ini, yang memisahkan diri dari Kekristenan dan Yudaisme, telah diciptakan Abdul Malik dan mitra terbaiknya Al-Hajjaj.

(10) Namun, sekitar tahun 700 M, Muhammad Al-Hanafiyyah (putra satu-satunya Imam Ali dengan Khawla Al-Hanafiyyah ini) menghilang – [saya mengambil versi sejarah minoritas dari kalangan Kaisaniyah yang juga tersimpan dalam sastra Melayu klasik]. Muqatta’at yang tetap dapat kita temukan dalam naskah kanonisasi meski ada satu naskah yang diabaikan, menunjukkan intervensi murid-murid Muhammad Al-Hanafiyyah yang terlibat dalam komite.

(11) Selain karena tidak mempelajarinya sebagai mahapuisi yang indah, yang perlu dibaca juga dengan pendekatan batin tak hanya logika, distorsi yang terjadi dalam Dunia Muslim saat ini dalam mempelajari Alquran adalah karena pada umumnya mempelajarinya melalui tradisi skolastik (sekolah) dan tradisi majlis akbar (massal) saja. Bukan melalui tradisi sampradaya (transmisi personal dari guru kepada murid) melalui tradisi parampara.

(12) Dua tradisi tersebut (sampradaya-parampara) membantu seorang murid memahami Alquran menurut level intelektual dan spiritualnya; memahami substansi dan esensinya berdasarkan level-level dan kondisi dirinya sebagai murid yang unik. Sementara itu, tradisi skolastik (madrasah; pesantren; hawza, dan seterusnya) membantu dengan pendekatan kontekstual untuk mengatasi distorsi pendekatan tekstual.

(13) Tradisi Daudiyah-Bektashiyah sebagaimana dalam Buyruk Alfurqan, menggunakan tiga tradisi tersebut, dimana dalam pendekatan kontekstual maupun tekstualnya ialah menekankan titik temu interteks Alquran dalam menemukan esensi dan substansinya adalah pada Albaqarah 53, yang menyebut Dekalog sebagai Alfurqan. Alfurqan merupakan tes litmus untuk memahami konteks dari setiap teks Alquran.

(14) Perlu diingat bahwa tidak semua pengikut Muhammad SAW menerima sampradaya Muhammad SAW atau dikadernya, melainkan menerima transmisi dari tradisi massal. Karena itu mereka disebut sahabat Muhammad SAW. Semua murid Muhammad SAW yang menerima sampradaya, tentu adalah sahabat beliau, tetapi tidak semua sahabat Muhammad SAW adalah murid beliau yang menerima sampradaya.

(15) Dari no (11), itu sebabnya, ketika dulu ada pertanyaan kepada saya mengapa dalam tradisi Daudiyah menafsirkan teks kitab Wahyu 5 bahwa yang dapat mengajarkan Alquran adalah Imam Ali, bukan Muhammad SAW sendiri, sebenarnya yang dimaksud karena setelah Muhammad SAW wafat, barulah seluruh syair-syair wahyu ilahi itu dapat selesai dikodifikasi, dan Muhammad SAW telah mengkader Imam Ali dan putrinya Fatimah untuk mengajarkan setiap karya dan pemikirannya. Kemudian, Imam Ali mengkader anak-anaknya mulai dari Hasan, lalu Husein, dan Muhammad Al-Hanafiyyah, dan putri-putrinya, yang kemudian dilanjutkan dalam tradisi sampradaya dan parampara yang lurus sampai seterusnya, ke hari ini.

Leave a comment