Nabi Elia (1):

ORANGTUA TOKSIK & MINORITAS YANG DIPERSEKUSI

Para pembaca setia Alkitab sekalian tentu akrab dengan sosok Elia (Elijah; Eliyahu; Ilyas; Elias). Begitu pun pembaca Alquran yang tekun. Biasanya para seniman melukiskan sosok Elia sebagai sosok yang sudah tua, dengan janggut dan rambut yang beruban. Jarang sekali yang menggambarkannya dalam keadaan masih muda. Padahal, dalam cerita-cerita Alkitab tidaklah dituliskan usia Elia.

Dalam tradisi Yahudi sendiri, sosok Elia sama seperti sosok Yesus bagi orang Kristen, sosok Khidir bagi para Sufi dan sosok Imam Mahdi bagi orang Syiah. Mereka adalah sosok-sosok ajaib, lintas dimensi, omnisains, dan dapat dikatakan senada dengan tirtankara dan avatar, yang dapat berubah wujud dan muncul di mana saja. Dalam Alquran, kisah Musa dengan Khidr sesungguhnya merupakan rendition kisah Musa dengan Elia. Dua kisah itu hanya berbeda penuturan dalam membahas mengenai “takdir kematian yang harus dialami anak-anak”. Cerita ini memang kontroversial dan tentu saja harus dipahami sebagai nitisastra melalui sampradaya.

Banyak rabbi pada masa lalu diceritakan bersahabat dengan Elia. Di antara yang terkenal adalah Rabbi Akiva. Dalam berbagai hadis atau cerita lisan, Elia diceritakan muncul memberi pertolongan sebagai pengemis, pemuda, orang tua, malaikat, dan sebagainya. Dalam hari raya-hari raya umat Yahudi, ada paraphernalia yang disediakan khusus untuk Elia, seperti cawan anggur kelima, dan kursi untuk Elia. Paraphernalia seperti Kursi untuk Elia juga digunakan dalam ritus semah perayaan Idul Khidr-Ilyas (Hidirellez) dalam tradisi Bektashi.

Dalam Alkitab, beliau tidak diceritakan silsilah atau sampradaya beliau dengan jelas.  Hanya disebut bahwa beliau berasal dari Tishbi. Asal wilayah ini sendiri menunjukkan ia berasal dari suatu “kota santri”. Beberapa hadis Yahudi mencoba memecahkan misteri ini.

Dalam Alkitab ia ditulis menolong seorang janda di Zarefath dan menghidupkan kembali anak tersebut. Alkitab tidak menulis nama janda tersebut. Apa yang Elia lakukan kepada anak janda tersebut sebenarnya adalah hal yang natural dan sekarang kita kenal sebagai pertolongan nafas buatan.

Ada pula suatu folklore Yahudi menceritakan Elia menolong seorang perempuan bernama Rachel yang menanti suaminya yang diisukan telah meninggal dalam perang. Rachel adalah nama yang umum bagi wanita Yahudi. Istri Rabbi Akiva juga bernama Rachel. Beberapa hadis Yahudi mengatakan Elia adalah dari trah Benyamin, yang lain mengatakan dari Yusuf, ada juga yang bilang ia seorang Lewi, dan yang lain berkata ia seorang Gad. Di suatu hadis Yahudi, dikatakan bahwa Elia memberitahu ibunya adalah Rachel, bukan Leah. Ini suatu petunjuk. Tetapi, tak satupun hadis memberitahu mengapa silsilahnya ditiadakan.

Meski tidak diceritakan silsilahnya, bukan berarti Elia tidak memiliki sampradaya dan tidak mempraktekkannya. Kita tahu ia mewariskan sampradaya-nya kepada Elisha (Ilyasa). Dalam bab Al-An’am 85-86, sampradaya Muhammad dapat dipahami demikian: Zakaria, Yohanes Pembaptis, dan Yesus Kristus, menerima dari Elia, kemudian Muhammad menerima dari Ismail, Elisha, Yunus dan Luth. Lalu, dalam surah lain, disebut susunan sampradaya beliau adalah Ismail, Elisha dan Zulkifli. Dalam bab berjudul As-Safaat (peringkat), Elia disebut dalam ayat 123-132. Ayat-ayat ini adalah midrash mengenai kisahnya dalam Zabur. Elia mendapat salam spesial dalam ayat 130 sebagaimana halnya salam spesial diberikan kepada Nuh, Ibrahim, Musa, dan Yesus.

Mengapa Alkitab menghijabi silsilah Elia? Tradisi Daudiyah mengatakan ketiadaan silsilah antara lain bertujuan agar tidak berfokus kepada silsilah Elia. Salah satunya karena ada ancaman terhadap legitimasi sosok tersebut. Itu tidak hanya dialami Elia, begitu juga ketika dialami oleh keturunan biologisnya, maka silsilah penerusnya seperti siapa istrinya, anaknya, dan seterusnya, tidak akan disebut dalam Alkitab. Hanya yang benar-benar penting akan disingkap dalam Alkitab (dan Alquran). Rahasianya akan disampaikan dalam sampradaya (transmisi personal; tradisi lisan). Beberapa waktu kemudian mungkin saja sampradaya itu diskripturalisasi.

Elia sendiri bukanlah nama lahirnya. Ini adalah nama sesudah ia menjadi nabi atau diurapi sebagai imam. Ia memimpin tarekat minoritas yang tertindas pada masa kejayaan dinasti Omri yang telah berjaya membawa Israel sejajar dengan  kerajaan-kerajaan lain di kawasan tersebut. Bahkan, tarekatnya lebih minoritas daripada tarekat Yohanes Pembaptis pada zaman penjajahan Romawi. Mungkin seminoritas tarekat Bektashiyah, atau bahkan Daudiyah-Bektashiyah begitu (hehehe).

Banyak orang yang mempelajari tanpa sampradaya, atau mungkin ada yang salah pada sampradaya-nya, yang gagal memahami folklore atau kisah-kisah Elia dalam Zabur, dengan mengatakan Elia begitu brutal membunuh lawan-lawannya para pendeta aliran Ba’al ketika berhasil membuktikan argumentasinya. Dalam bahasa awam, pembuktian itu adalah mukjizat. Yang dimaksud mukjizat sesungguhnya adalah untuk membuktikan hujjahnya dan membungkam lawannya. Pada zaman se-savage itu, jika saya ada di posisi Elia, dan saya sudah lama dipersekusi Wahabi, jelas saya akan melakukan serangan balik bilamana saya tidak memperoleh jaminan apapun dari negara akan keberadaan umat dari tarekat yang saya pimpin sedangkan pada masa itu negara hanya akan memihak yang menang dan kuat.

Fragmen-fragmen Elia dan Elisha dalam Alkitab mungkin menggambarkan bukan hanya adegan-adegan kekerasan, tetapi juga kutukan-kutukan. Inilah yang menyebabkan sebagian Kekristenan memandang Tuhan dalam Perjanjian Lama adalah Tuhan yang Pemurka dan Penghukum, berbeda dengan Tuhan dalam Perjanjian Baru yang hadir dalam sosok Yesus Kristus.

Menurut saya, hal tersebut terjadi karena di luar sampradaya, pemahaman cerita-cerita tersebut dimaksudkan untuk menerima doktrin dan dogma gereja yang bersangkutan, atau demi pengkajian secara kesarjanaan modern. Bilamana membaca cerita-cerita ini secara folkloris, sebab begitulah sampradaya biasanya mengajak penerima transmisi membacanya, maka kami biasanya segera mengerti yang mana perumpamaan, yang mana dimaksudkan sebagai nitisastra, dan yang mana merupakan kejadian historis atau apa latar belakang historisnya sehingga folklore tersebut muncul.

Elia justru adalah imam tarekat yang mengajarkan ahimsa, sebagaimana maksud episode Kisah Sinai dalam Taurat dan pelaksanaan Dekalog. Tetapi, ahimsa dalam sampradaya Israil bukanlah “doktrin tanpa-kekerasan yang membiarkan diri dan orang lain mati sia-sia dianiaya. Mempertahankan diri atau menyelamatkan seseorang adalah tetap harus dilakukan.”

Dalam kasus Elisha dihina karena meyakini Elia masih membimbing secara gaib dengan mengolok-olok kebotakannya yang merupakan simbol lelaku malamatiyya-nya, ia menunjukkan perlawanan kepada perundungan terhadap dirinya dalam bentuk kutukan, dengan harapan agar mereka berhenti merecokinya. Kutukan-kutukan baik dalam Alkitab maupun Alquran bukanlah mengutuk individu, kecuali individu itu telah menjadi simbol kejahatan di cerita-cerita berikutnya. Kutukan yang disampaikan adalah terhadap perbuatan, yang bermaksud “mendoakan bahwa yang bersangkutan tidak mungkin bertaubat tanpa melalui pengalaman yang sama.” (Misalnya, bagaimana Anda tahu rasanya sakit pemfigus tanpa mengalami pemfigus seperti yang saya alami?) Jadi, kutukan-kutukan yang mereka lakukan sama sekali berbeda dengan kutukan atau laknat melaknati model saat ini yang bermaksud menghukum untuk balas dendam.

Tarekat Elia mengalami persekusi di bawah pemerintahan Ahab, tepatnya di bawah kekuasaan permaisurinya Yezebel. Dalam kitab Wahyu, ada ayat mengenai nabi palsu yang disimbolkan sebagai Yezebel, atau agama Yezebel, yang berarti di sini Yezebel digunakan sebagai simbol. Bukan lagi individu. Sama seperti firaun pada kisah-kisah setelah Kisah Sinai. Di antara ciri khas agama yang dianggap tersesat itu sebenarnya berkaitan erat dengan ciri khas masa pemerintahan Yezebel sendiri yang bersifat takfiri sehingga terjadi persekusi terhadap umat agama yang berbeda dalam berbagai level, dan klaim nubuatan-nubuatannya yang tidak terbukti yang telah memperdaya jemaatnya. Elia bernubuat akan kejatuhan Yezebel dan tidak diberkatinya dinasti Omri dalam kerajaan Daud. Sang permaisuri sendiri akhirnya mati secara defenestrasi, yaitu jatuh dari jendela. Ia terjungkal dari jendelanya karena didorong seorang sida-sida.

ELIJAH 00

Dalam salah satu folklore Yahudi itu, Rachel diceritakan mulanya tidak percaya kepada nubuat Elia mengenai suaminya yang masih hidup dari medan perang. Begitulah selama misi kenabiannya, Elia tidak diakui, tidak dipercaya, dirundung, dilecehkan, stress dan bahkan mengalami masa-masa depresi. Dalam Alkitab dan Alquran, seluruh nabi dan rasul yang memiliki misi serupa dalam menghadapi masyarakat yang bebal, dungu dan jahat, mengalami petualangan yang hampir serupa pula. Mereka tidak diakui, tidak dipercaya, dirundung, dilecehkan, dan mengalami stress maupun depresi, bahkan jatuh ke dalam titik nadir, entah ingin mati atau tidak merasa layak hidup lagi.

Salah satu adegan favorit saya dalam Alkitab mengenai Elia ialah ketika memberikan jubahnya kepada Elisha. Saya berpikir, J.K Rowling yang mengklaim sebagai Kristen yang masih ke gereja, terinspirasi hal ini dengan memunculkan paraphernalia jubah gaib Harry Potter (HP). Jubah merupakan tamsil penting dalam Sufisme atau spiritualitas. Dunia sihir dalam karangan J.K Rowling memiliki unsur-unsur folklore Israil selain folklore Inggris dan Celtic, seperti teleportasi dalam kisah-kisah ajaib Elia. Jika dalam HP disebut portal, dan dalam Jainisme maupun Hinduisme secara umum ada  tirtha (ford), maka pharapernalia seperti cawan kelima dan kursi untuk Elia senada dengan tirtha atau portal tersebut. Yang lain, misalnya, polyjus yang bila diminum dapat mengubah wujud, telepati, membaca pikiran (occlumency) dan menutup pikiran (legillimency), dan tongkat sihir. Tongkat Musa dan Harun konon merupakan pusaka yang disembunyikan dan ada pada Elia.

Pada masa sekarang, kita mengenal istilah-istilah seperti hubungan yang toksik, dan orangtua yang toksik. Pergumulan seorang Dekalogis yang sangat berat antara lain apabila memiliki orang tua yang hidup tidak selaras dengan Dekalog, hidup dengan mereka, dan mereka mengontrol hidupnya. Padahal, sila Dekalog yang kelima adalah menghormati ibu dan bapak.

Sepertinya Elia juga begitu. Ia telah meninggalkan orangtuanya yang toksik. Ini salah satu alasan mengapa tidak diceritakan nama orangtuanya. Di suatu hadis Yahudi, dikatakan bahwa ibunya adalah Rachel, bukan Leah – untuk menunjukkan trah-nya. Sebenarnya, Elia memiliki trah dari Leah secara maternal. Dalam sampradaya beliau itu terdapat Nathan Sang Nabi. Tetapi, yang mengejutkan sebenarnya, secara paternal ia adalah trah dari Bilhah. Tetapi, mengapa ia menyebut Rachel? Karena pada masa itu, Bilhah melahirkan anak-anak untuk Rachel, sebagai garwo padmi Yakub. Di samping itu, ini adalah untuk alasan yang kedua.

Nama suku bangsa Efraim dan Dan tidak disebutkan dalam kitab Wahyu dalam dua belas wangsa Israil yang memperoleh segel. Sebagai ulama Kristen dan Yahudi berpendapat ini karena Anti-Kristus akan muncul dari suku bangsa Efraim dan Dan. Mereka dikeluarkan dari daftar karena banyak keturunan dari dua wangsa tersebut yang menjadi musyrik. Kita tahu bahwa Efraim yang dimaksud adalah putra Yusuf dan istrinya Asnath, seorang putri Mesir. Sementara itu, Dan adalah putra pertama Bilhah. Setelah Rachel wafat, Bilhah menjadi ibu susu bagi Benyamin dan sangat dekat dengan Yusuf yang diasuhnya sejak kanak-kanak. Kerinduan Yakub kepada Rachel (yang kita tahu adalah cinta pertamanya), diluahkan kepada Bilhah, dan itu menimbulkan kecemburuan kepada anak-anak Yakub dari Leah. Ruben adalah salah satunya. Jadi, tidak masalah bilamana Rachel adalah ibu Elia atau diduga dari trah Benyamin, meskipun ia harus menyembunyikan wangsanya adalah Dan – salah satu dari sepuluh wangsa yang hilang, bahkan mungkin salah satu wangsa yang tercela.

Orang-orang Yahudi percaya bahwa Elia akan muncul pada akhir zaman sebagai mesias mereka, sebagaimana disebutkan dalam Zabur, antara lain dalam Mikah. Kepercayaan yang sama untuk Yesus Kristus bagi umat Kristen, sedangkan bagi umat Islam kepercayaan itu untuk Imam Mahdi dan Yesus Kristus. Dalam tradisi Daudiyah, ketiga-tiganya dan bersama dengan Enokh (yang muncul dalam nama Khidr maupun Idris), masih membimbing dalam kegaiban. Pada akhir zaman, ketiga-tiganya berperan sangat penting di tengah puncak egosektarian agama-agama Israil (Yahudi, Kristen dan Islam) dan di tengah puncak kegentingan polarisasi antara berbagai kelompok baik antar agama maupun antar mazhab pemikiran.

elijah-and-the-widow-william-gale-

Apapun itu, menarik bahwa dari sampradaya yang saya terima, hikmah dari kisah Elia yang tidak saya temukan dalam Alkitab dan hadis-hadis Yahudi adalah mengenai orangtua Elia yang telah melakukan kejahatan dan dapat dipandang sebagai orangtua yang toksik, dari sudut pandang kekinian. Ia juga berasal dari tarekat atau kelompok keagamaan yang sangat minoritas, yang tak hanya mengalami diskriminasi, tetapi bahkan juga persekusi. Di sini, dan saat ini, kita melihat bagaimana kebebasan beragama dan kesetaraan dalam menganut keyakinan yang berbeda-beda, masih merupakan tantangan di berbagai belahan dunia. Terutama di negeri-negeri dengan Muslim mayoritas yang Islamis, serta kaum Yahudi dan kaum Kristen yang fanatik dan radikal. Karena itulah, saya lebih menyukai doktrin skenario Daudiyah, daripada doktrin skenario dari mazhab, denominasi atau sekte lainnya yang egosektarian, atau dari kelompok ateis dan agnostik yang secara umum melahirkan polarisasi baru maupun tidak dapat merangkul realitas keberagamaan tiga umat tersebut yang saling berselisih itu.

Rahayu,

Syekhah Hefzibah — R.A Gayatri W. Muthari
#PengantinElia

Leave a comment