Melecehkan Cadar

Sebuah video viral mengenai seorang perempuan berniqab yang ditemukan mengutil di sebuah hipermarket di Eropa. Perempuan itu dapat menyembunyikan begitu banyak bungkus produk di balik abaya hitamnya dan niqabnya. Terakhir, saking kesalnya, dia memperlihatkan “aurat”nya sampai beha dan celana dalamnya terlihat untuk menunjukkan tak ada lagi barang yang ia sembunyikan.

Anda boleh mengatakan saya melecehkan cadar atau pun jilbab, manakala saya mengkampanyekan kemben dan berbagai jenis busana adat di dunia. Tetapi, Anda lupa, bahwa cara Anda menyerang saya pada umumnya adalah KLAIM ANDA bahwa jilbab, niqab, cadar, kerudung, burqa, abaya, purdah dan gamis adalah busana Islam, bahwa rambut, bahu, leher, paha, betis, dan lengan seorang perempuan adalah aib atau aurat.

Klaim Anda yang mulai populer sejak 2 dekade terakhir-lah yang telah mula-mula melecehkan budaya bangsa-bangsa lain, bangsa-bangsa yang sebagian besar telah memeluk Islam berabad-abad tanpa mengenakan cara berbusana yang Anda dakwahkan sebagai cara berbusana Islami. Kalau Anda diserang oleh banyak orang, termasuk saya kritik dengan sangat tajam dari segala sudut, itu karena ada asap, maka ada api. Anda punya hak klaim, saya juga punya hak klaim yang sama. Anda punya guru, saya juga punya guru. Anda mendukung hijabisasi, itu yang saya kritik, tapi bukan hijab atau niqab Anda yang saya kritisi.

Jilbab, niqab, cadar, kerudung, burqa, abaya, purdah dan gamis, dst bukanlah busana Islam. Islam yang diajarkan Muhammad adalah ajaran mengenai menjalani kehidupan, berserah diri pada kehendak-Nya (baca: bukan berserah pada teks, tetapi yang ada pada alam dan diri; dan berserah bukan pasrah bongkokan, tidak memberdayakan akal budi dan menggunakan hati nurani).

Islam adalah Jalan Hidup yang dapat dijalankan di wilayah mana pun, dalam kondisi apa pun, dalam iklim apapun, dengan penyakit apapun yang kita derita, dengan segala keterbatasan dan ketersediaan yang kita punya, dengan segala jenis tubuh dan pekerjaan sehari-hari kita, dst. Bahkan Islam bukanlah agama dalam pengertian sejak abad ke-9 M: bukan agama Islam, Kristen, Yahudi, Buddhis, Hindu, Sikh, atau Syiah dan Sunni.

Kalau kemben, kebaya, sanggul, cawat, rok mini, bikini, kimono, hanbok, dan gaun melendung adalah budaya, maka jilbab, niqab, cadar, kerudung, burqa, abaya, purdah, chador, burkini, dan gamis juga adalah budaya.

Pertama, mengatakan busana tertentu saja sebagai bentuk menutup aurat merupakan cara memahami ayat-ayat Alquran dan ajaran Muhammad yang rasis. Kalau Anda menerima pemahaman dan pemaknaan kode etik berbusana dari orang-orang yang hidup 2-3 abad sesudah Muhammad mengatakannya, dan mereka berasal dari habitat berlanskap kontinental atau pun padang pasir, bukan kepulauan dan tropis maritim, maka kemungkinan sekali Anda telah salah paham.

Karena Anda memandang Muhammad seorang istimewa, maka saya akan menggunakan cara Anda memandangnya: Muhammad akan menertawakan Anda karena memaksakan cara hidup padang pasir dan kontinental di negeri beriklim tropis maritim! Muhammad akan meminta Anda mengaji kembali karena Anda berkulit sawo matang atau berkulit seperti arang, dan sekarang lebih banyak bekerja di dalam ruangan, tetapi setiap Anda keluar Anda mengenakan busana serba tertutup ala orang-orang Indo-Arya (Eropa, Persia, Turki, India Arya) manakala mereka mengalami musim dingin, gugur dan hidup di pegunungan.

Kedua, cadar maupun jilbab yang dikenakan sebagian Muslimah hari ini bukanlah pakaian religius. Yang mengenakannya tidak mengambil kaul seperti para biarawati Kristen – para rahib Buddhis pun punya busana religius sendiri. Mungkin dikenakan sebagai penanda anggota masyarakat adat eksklusif, seperti busana adat orang Amish, Badui Sunda Wiwitan, Hutterite, Sedulur Sikep, Doukhobors, Old Believers, atau Yahudi Ortodoks. Ini lebih masuk akal. Kalau begitu, jangan paksakan baik secara halus maupun tidak supaya semua perempuan untuk jadi bagian dari masyarakat adat tersebut.

Berbusanalah sesuai konteks. Baiklah berkerudung di masjid dan gurdwara, tetapi kenakanlah kemben di Imogiri (jika Anda wanita). Kalau tak bersedia, tak usah ke mesjid, gurdwara dan Imogiri. Begitu juga aturan pelarangan di sejumlah negara pada penutup wajah maupun anak-anak berkerudung di sekolah, semua ada karena ada alasan rasionalnya. Kalau Anda bilang mereka intoleran dan Islamofobia, apa tidak sama dengan Anda tidak menghormati budaya mereka? Jawab saya, apa gunanya CCTV di ruang publik jika ada ninja, dementor dan niqaber berkeliaran? Jawab saya, apa mereka tak berhak menjaga alam dan kesehatan mereka?

Toh, di masjid, saat salat, dan saat di dalam ruang privat, orang bebas mengenakan niqab dan hijab. Tapi, bagaimana dengan Anda. bagaiamana Anda memperlakukan dan memandang cara orang lain berbusana selama ini?

Bercadarlah di habitat berdebu dan panas menyengat, atau saat asap, polusi dan takut tertular penyakit. Tentu, Anda diwajibkan berbusana astronot jika bekerja di tempat rawan radiasi. Tetapi, Anda pasti akan mengeluh kepanasan atau mengalami penyakit kulit jika selalu bercadar dan abaya berlapis-lapis di Bekasi, di sebuah rumah petak, tanpa listrik, sambil melakukan semua pekerjaan rumah, lalu kesulitan air pula pada musim kemarau begini. Sebagai hijaber hampir 18 tahun: jangan munafik dan sok deh!

Rahayu dan sampurasun,
RA Gayatri WM

Leave a comment