KETIKA UMAT ISRAIL TAK LAGI MEWARISKAN DNA MEREKA…

Apa yang membuat bangsa Israil dalam agama-agama yang kini menjadi agama-agama mayoritas dunia mengalami penyimpangan yang serius sehingga melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan dan perusakan alam atas nama Tuhan dan agama?

Transmisi kearifan dan ilmu pengetahuan dalam bangsa Israil secara tradisional adalah berlaku secara personal, yaitu seorang mentransmisikannya secara personal kepada seorang yang lain.

Dalam kehidupan kita saat ini, dapat menggunakan sarana seperti telepon, video call, whatsapp, dan teknologi lainnya.

Para leluhur Israil yang telah mencapai maqam moksha, mereka akan mentransmisikannya kepada salah satu dari keturunan spiritual maupun biologis mereka dalam rantai silsilah. Mereka melakukannya melalui berbagai cara.

Perjumpaan langsung adalah hal yang paling jarang, tetapi berbagai kisah purbakala merekamnya, seperti kisah Saul didatangi Yesus, Rabbi Akiva didatangi Elia, Yesus didatangi Musa, Enokh, dan Elia, serta Muhammad SAW didatangi Musa, Enokh, Yesus, Elia, dan Ibrahim.

Yang paling sering adalah mendatangi dalam mimpi, yang lainnya mungkin tidak sadar diberi bimbingan melalui ilham, inspirasi maupun dipertemukan dengan suatu kejadian atau seseorang untuk memperoleh jawaban, menemukan suatu ide, dan sebagainya agar kearifan dan ilmu pengetahuan leluhur tetap dapat relevan dan berkembang mengikuti zaman. Ini termasuk dalam bidang sains dan teknologi.

Yang terpenting di sini, ybs yang mengklaim maupun tidak mengklaim itu memiliki silsilah, baik spiritual maupun genetik, bahkan kerap kali mereka yang meragukan justru yang didatangi, misalnya dalam kasus Saul (Paulus).

Dalam studi perbandingan agama dan antropologi agama, setiap orang melakukan klaim kebenaran menurut versinya masing-masing mengenai suatu ajaran keagamaan.

Dalam konteks ini, maka klaim kebenaran yang disampaikan oleh para keturunan tersebut sangat mudah diperiksa, apakah memiliki satu DNA spiritual yang sama, meskipun tampaknya saling berselisih satu sama lain.

Apakah satu DNA itu? DNA itu adalah Alfurqan atau Dekalog (10 Kalimat Allah).

Sepuluh Titah Allah adalah satu DNA yang dapat ditemukan dalam seluruh ajaran Musa, Yesus dan Muhammad, serta dalam seluruh Taurat, Zabur, Injil dan Alquran. Adakah dari Anda sekalian yang dapat membantah saya dalam hal ini?

“Taurat” yang disebut dalam Alquran adalah segala teks yang merujuk kepada Oraita dan Oktateukh. “Zabur” yang disebut dalam Alquran adalah segala teks yang merujuk kepada kitab-kitab Perjanjian Lama sejak masa Samuel sampai masa penjajahan Yunani. “Injil” yang disebut dalam Alquran adalah segala teks yang merujuk kepada teks-teks Perjanjian Baru.

Inilah fungsi “muqatta’at” pada 29 mukadimah surah Alquran, yaitu agar kita yang menerima transmisi tersebut merujuk kepada Taurat, Zabur dan Injil, dan bukan malah menghempaskan Alkitab lalu menggunakan hadis-hadis produksi satu dua abad setelah Muhammad wafat.

Untuk merujuk teks-teks dalam Alquran kepada teks-teks Taurat, Zabur dan Injil tersebut, maka rujukan terbaiknya adalah teks-teks dalam tradisi dan kanon Oriental. Bukan tradisi dan kanon Barat dan Timur. Tradisi dan kanon Oriental masih dilestarikan oleh Beta Israel atau Falasha dan komunitas Kristen Oriental seperti Gereja Tewahedo dan Gereja Ortodoks Suryani.

Ketika Alquran mengkritik atau menyebut Yahudi, maka Yahudi yang dimaksud adalah bangsa Israil yang menolak otoritas Yesus atau Isa Almasih dalam tradisi transmisi Israil ini. Sementara itu, pada faktanya, umat Israil dari kalangan musta’ribah seperti Muhammad, falasha lainnya, dan banyak suku Arab lainnya telah menerima otoritas Yesus jauh sebelum Muhammad lahir, tidak lama setelah Yudaisasi di seantero wilayah Oriental itu (Nabatea, Suriah, Dekapolis, Mesir, Ethiopia/Aksum, Yaman/Himyar, dst).

Maka, ketika Alquran mengkritik Kekristenan, yang dikritik antara lain adalah penggunaan konsep “tauhid” (Aksum: tewahedo) dalam Monofisit, dan takfirisme di antara umat yang telah menerima otoritas Yesus (antara Arianisme/Non-Konsubstansialis dengan Nikean/Konsubstansialis, antara Diofisit dengan Monofisit, dan takfiri kepada kelompok “Hanif” yaitu Non-Blok).

Beberapa dasawarsa sebelum Muhammad lahir, konflik akibat takfirisme antara Yahudi dengan Kristen telah menumpahkan darah satu sama lain. Fratrisida Kain-Abel pada masa itu di wilayah Oriental. Sesungguhnya, kelompok “Hanif” berupaya untuk merekonsiliasi dan mempersatukan di antara kebhinekaan itu (bukan agar mereka semua dalam satu aliran yang sama). Puncak dari kelompok “Hanif” adalah Muhammad SAW yang dikaruniai wahyu ilahi berupa puisi midrash yang amat indah.

Perjanjian Lama (Taurat dan Zabur) dipenuhi oleh teks yang amat beragam, ada yang bergenre prosa dan ada yang bergenre puisi, gaya prosa maupun gaya puisinya pun amatlah beragam. Misalnya, kitab Ayub merupakan genre puisi dan gaya puisinya saat itu mendobrak gaya puisi tradisional berbahasa Ibrani yang lazim pada masa itu. Sementara itu, Mazmur merupakan genre puisi, dan gaya puisinya merupakan gaya puisi tradisional yang lazim saat itu. Adapun Amsal merupakan kumpulan peribahasa khas bangsa Israil, sedangkan Sirakh merupakan prosa yang disalin dari bahasa Yunani karena saat itu bangsa Israil dijajah oleh bangsa Yunani.

Kompilasi Perjanjian Lama secara umum dilakukan dari menyalin teks-teks yang sebelumnya telah mencatatkan tradisi lisan dan teks-teks sebelumnya. Kita mengingatnya dalam kisah disusunnya Septuaginta. Namun, ini berbeda untuk kebanyakan teks dalam Injil atau Perjanjian Baru: yaitu dilakukan dari menyalin berbagai tradisi lisan. Seluruh genre dalam Injil atau Perjanjian Baru adalah dalam bentuk prosa.

Alkitab Teks Masoretik disusun pada zaman yang sama dengan munculnya kitab Alquran. Dan, yang sangat menarik, keduanya mengandung nada-nada sehingga dapat disenandungkan dengan indah.

Adalah perlu diingat bahwa dalam proses penerjemahan, penerjemahan yang paling sulit adalah menerjemahkan genre puisi daripada genre prosa. Pertama, sulit apabila ada rima, penekanan bunyi dan ada matra untuk dinyanyikan. Kedua, sulit apabila ada akrostik dan struktur khusus yang digunakan sang penyair. Penerjemahan kedua yang sulit adalah peribahasa, karena peribahasa membawa suatu konteks budaya tertentu. Misalnya, bagaimana menerjemahkan “Bagai katak di bawah tempurung” sedangkan di budaya lain tidak dikenal “tempurung kelapa” karena kelapa bukanlah tanaman pribumi setempat di habitat budaya itu?

Itu sebabnya, tradisi transmisi personal sebagaimana dalam bangsa Israil akan sangat membantu memahami Alkitab dan Alquran karena bangsa Israil kini ada di seluruh dunia dan agama-agama Israil pun telah dianut hampir 5 milyar umat manusia hari ini.

Secara kesusasteraan Alquran bergenre puisi. Gaya puisi Alquran jelas mendobrak gaya puisi tradisional saat itu, sebagaimana teks-teks Alquran sendiri menyanggah keberatan dari para penyair Arab dan bangsa Israil musta’ribah lainnya mengenai bahasa Arab dan ekspresi yang digunakannya.

Secara tipe eksegesis dan pensyarahan, Alquran adalah suatu midrash. Muqatta’at memiliki fungsi penting dalam kaitan tipenya sebagai midrash. Dan, karena itu kompilasi kitabnya disusun dalam bab-bab berdasarkan suatu tema kesatuan sebagaimana tampak dalam nama-nama surah. Apa itu midrash? Silakan google. Pendek kata, midrash memiliki gaya cepat, bertanya, rekonsiliasi atas teks-teks dan tradisi yang tampak berselisih, serta mendorong kita berpikir ulang, terinspirasi bahkan meragukan sesuatu yang semula tampak “plausible”.

Secara puisi, Alquran adalah suatu himne, serupa medrasse yang pernah dipopulerkan Efraim pada abad ke-4 M, yang disusun sedemikian rupa agar dapat disenandungkan dengan indah dan dihapal oleh para penyenandungnya dalam semah atau kebaktian atau persembahan puji-pujian kepada Allah.

Oleh sebab itu, Alquran mustahil untuk diterjemahkan dengan tepat. Terjemahan bahasa Indonesia yang tersedia hari ini adalah salah satu terjemahan terburuk menurut saya.

Mengapa? Saya pikir salah satunya karena para penerjemahnya menolak bahwa Alquran adalah suatu kitab puisi ilahiah yang indah dan memandangnya sebagai prosa. Alhasil, terjemahan tersebut sebenarnya adalah suatu tafsiran belaka.

Kanonisasi atau kodifikasi suatu kitab atau pun suatu teks bukanlah suatu masalah yang perlu diributkan.

Tidak ada masalah apabila menyeragamkan seluruh bentuk penyalinan teks-teks Alquran menjadi memiliki diakritik dan tanda bunyi yang mapan, maupun penyeragaman dalam menyenandungkan Alquran sehingga ada beberapa jenis cara menyanyikannya. Ini karena pada masa Muhammad memang ada banyak cara menulis dan ada banyak dialek Arab saat menyalin kembali Alquran dan menyanyikannya.

Pun, tidak ada masalah dengan perbedaan kanon Barat dengan Timur dan Oriental, karena DNA-nya masih dapat ditemukan yaitu Dekalog.

Yang menjadi masalah adalah bahwa kitab-kitab tersebut digunakan untuk hegemoni, dominasi dan sebagai alat tirani.

Di dunia akademik modern sejak abad pertengahan, kitab-kitab tersebut (telah dan selalu berpotensi) digunakan sebagai hegemoni, dominasi dan tirani, karena para penyokong dana kampus-kampus dan sekolah-sekolah adalah para raja dan penguasa yang memiliki kepentingan. Mereka mensponsori para ulama, pendeta, dan cendekiawan untuk menghasilkan karya dan karya-karya yang didukung pemerintah atau penguasa pastilah yang menguntungkan pemerintah atau penguasa itu.

Namun, dalam tradisi transmisi personal, yang lurus (yang bermodelkan “guru hanya mengantar ke pintu”) dan bukan yang bermodelkan “guru worship”, si penyampai transmisi hanya memberikan apa yang diminta oleh seorang penerima transmisi dan menyampaikan apa yang dipertanyakan oleh si penerima transmisi. Dia harus menyampaikan sesuai dengan kebutuhan, level, dan keadaan si penerima transmisi. Dia tidak boleh memiliki kepentingan untuk kekuasaan, melainkan kepentingan untuk mewariskan sebagaimana yang diwarisinya semata-mata. Karena jika itu yang terjadi, yaitu memiliki kepentingan kekuasaan, maka pada titik rantai silsilahnya, di situlah terjadi kecacatan.

Tetapi, haruslah dapat dibedakan antara kepentingan untuk kekuasaan dan kebutuhan untuk menyintas di antara tiran dan penguasa. Jika Abdul Malik I melakukan Islamisasi dan unifikasi Alquran untuk kekuasaan, maka Muhammad SAW menerima tawaran untuk memimpin Haram Yehuda Medinatun di Yathrib untuk menyintas di antara tiran dan penguasa pada masanya.

Seorang Israil yang hidup hanya demi kepentingan kekuasaan akan memutus tradisi transmisi ini sehingga umat suatu agama Israil tak akan lagi mengenal silsilahnya, dan tercerabut dari akarnya. Akhirnya, umat (dihalangi dari) tak lagi menerima kearifan dan ilmu berdasarkan transmisi personal melainkan berdasarkan konsensus yang berkuasa dan atau sekolah-sekolah yang disponsori para penguasa.

Inilah yang dilakukan Ahab dan Yezebel. Inilah yang dilakukan oleh raja-raja Romawi begitu mereka menjadi Israil yang menerima otoritas Yesus, dan dilanjutkan oleh semua penerus mereka di Barat, Timur dan Oriental, dan seterusnya. Dan, inilah pula yang dilakukan oleh raja-raja Umayyah terutama semenjak Marwan dan putranya Abdul Malik, dan dilanjutkan oleh semua penerus mereka di Andalusia, Abbasiyah, Ottoman dan seterusnya.

Untuk menyiasati hal itu, dalam upaya menyintas, maka banyak dari penyampai transmisi harus berada dalam sistem tersebut agar mereka dapat mewariskan kearifan dan ilmu pengetahuan, demi memelihara satu DNA itu tetap menyerlah di antara seluruh kepingan pecah-belah yang berserakan.

Apapun kebangsaan umat Israil saat ini, dan apapun identitas politik, agama dan gender mereka saat ini, bahkan disadari atau pun tidak, jika mereka mewarisi DNA itu untuk mereka pelihara dengan baik, dan mewariskan pula DNA tersebut kepada anak cucu mereka (anak cucu secara spiritual!), maka mereka tidak akan melakukan kejahatan kemanusiaan dan perusakan alam atas nama Tuhan dan agama.

Syekhah Hefzibah,
13 Juli 2020

Leave a comment