Milk al-Yamin/Malakat Aymatuhum dalam Tradisi Israil

*Man Havya le-Yoma? “(Who Will be Mine for a Day?)*

“It is easier to build a skyscraper or a tunnel under the sea than to teach people how to read the book of the Lord with their own eyes. They have been used to reading this book with borrowed eyes for hundreds of years.”
Muhammad Shahrour

Saya telah membaca seperlunya disertasi Dr. Abdul Aziz yang sebenarnya membedah pemikiran Muhammad Syahrur “milk al-yamin”. Saya telah merujuk ke Almukminun 5-6 sebagai teks yang menjadi rujukan Muhammad Syahrur dan diinterpretasi kembali.

Oleh karena saya memandang bahwa Alquran adalah himne pengajaran (ܡܕܖ̈ܫܐ, madrāšê). dan midrash (מִדְרָשׁ) Muhammad maka saya merujuk pula ke beberapa teks Imamat 19 dan 25, dan Ulangan 15. Metode ini ternyata konsisten dengan fenomena yang berusaha dideskripsikan oleh Muhammad Syahrur. Tentu, sebagai sarjana Muslim ia mengklasifikasi teks-teks dalam Alquran tanpa melibatkan Alkitab, sedangkan Abdul Aziz menggunakan pendekatan hermeneutik seperti Syahrur.

Ternyata metode The Beloved and I yang saya terapkan, konsisten dengan pokok-pokok yang hendak disampaikan Syahrur maupun Abdul Aziz. “Milk al-yamin” dalam Alquran itu memiliki landasan Tradisi Rabbinik Awal yaitu Yahudi Rabbinik yang baru mulai berkembang pada masa Efraim Suryani dan Muhammad, evolusi dari Yahudi Farisi.

 

Halakha Itu Untuk Merespon…

Apa yang direkam oleh Alkitab mengenai perbudakan tidaklah lain dalam rangka merespon keadaan dan situasi yang secara umum dihadapi orang Yahudi dari masa ke masa. Respon tersebut direkam dalam rangka untuk memberikan solusi yang dianggap terbaik sesuai masa dan ruang itu dengan tetap selaras dengan esensi dan intisari iman Yahudi yang dapat ditemukan dalam Kisah Sinai. Yesus dan kemudian Paulus juga kemudian merespon dengan metode yang serupa. Begitu pula metode midrash Muhammad.

Oleh karena itu, dengan memahaminya sebagai respon, tidaklah relevan jika menanyakan pada masa kini apakah perbudakan dibenarkan oleh Islam?

Pertanyaan semacam itu hanya bagi umat Islam atau ustadz seperti Basalamah yang meyakini Alquran adalah satu set aturan dan ketetapan dari Allah untuk semua orang beriman untuk seluruh masa dan zaman dimana Alquran tidak pernah merespon hal-hal yang kontekstual, tetapi setiap teksnya pasti dan harus selalu bermaksud letterlijk universal, perpetual dan cocok untuk semua bangsa dan segala zaman.

Jika menggunakan pendekatan bahwa ada hal-hal yang dicatat dalam teks-teks Alkitab dan Alquran tidak lain merupakan respon, karena pada masa itu sedang aktual atau viral, dan dipilih karena dianggap paling selaras dengan Dekalog/Alfurqan, maka kita akan mengerti bagaimana halakha dalam Yudaisme dan fikih dalam Islam berkembang dalam sejarah.

Seperti yang telah saya sampaikan dahulu, Yudaisme modern, Islam, dan Kekristenan modern mulai berkembang dari zaman yang sama, persis pada abad ke-7 M ketika Muhammad mulai menyampaikan madrasse dan midrash-nya. Ketiga-tiganya mulai berangkat menjadi agama-agama yang benar-benar terpisah satu sama lain meski sama-sama mengklaim Kisah Sinai dan seluruh hukum mereka dapat ditemukan akarnya dalam Dekalog.

 

Almukminun 23 11

Beda-beda Jenis Seks Legal dan Ilegal…

Pada akhirnya, teks Almukminun itu adalah midrash Muhammad merespon beberapa hal. Di antaranya (1) Konteks kasus “Man Havya le-Yoma?” yang telah dipraktekkan para rabbi yang merantau atau menjadi musafir agar dapat melakukan seks secara legal. Ini dicatat dalam Talmud Babilonia (Yoma 18b; Yevamot 37b); 
(2) konteks budak-budak atau abdi dalem perempuan yang seorang pria miliki. Dalam kasus ini, mereka yang mengikuti ajaran Muhammad saat itu sebenarnya mengikuti adat istiadat Yahudi.

Tampaknya adalah menarik melihat baik Alquran melanjutkan pandangan yang terekam dalam Alkitab, maupun Alkitab sendiri, keduanya menunjukkan bahwa yang disebut budak pada masa lalu tidak harus berarti negatif. Yang saya maksud, ada orang-orang yang menjual diri mereka, atau memberikan diri mereka sebagai abdi dalem, dan mereka ini juga disebut budak-budak. Ada akta-akta perjanjian yang menyatakan dirinya adalah milik seseorang dan akhirnya dapat menjadi hak waris. Jadi, tidak harus budak adalah tawanan perang, atau yang dipaksa. Trafficking adalah praktek sejak purbakala.

Secara bertahap dari zaman ke zaman dan di tempat-tempat yang berbeda, Alkitab merespon apa yang sebaiknya seorang Yahudi lakukan kepada mereka dan semacamnya itu. Dasarnya tetaplah Dekalog.

Demikian juga dengan Alquran. Tidak banyak perubahan dari Muhammad. Dalam Alkitab, (1) pria tidak boleh menggauli budaknya kecuali setelah membebaskannya; (2) pria tidak boleh menggauli budak yang memiliki hubungan dengan yang lain sampai pria itu menebusnya. Setelah memilikinya, baru kembali ke poin (1), kalau tidak ia harus dihukum.

Di poin ke-(2) itu, Muhammad memberi fatwa baru, kalau pria itu tak perlu dihukum dan tak perlu menebus budaknya. Tetapi, boleh langsung ke no ke-(1) dan tetap dengan adab para patriark atau nabi Israil leluhurnya (baca sampai selesai tulisan ini). Poin no ke-(1) dijelaskan dalam midrash lain Muhammad tentang anjuran memerdekakan para budak.

Respon para patriark (dan matriark) terhadap berbagai hal termasuk masalah perkawinan dan seks selalu kontekstual.

Respon-respon itu semakin penting dalam situasi dan kondisi Yahudi di Babilonia. Orang-orang Babilonia/Persia yang telah memiliki praktek perseliran dan atau yang disebut Syahrur sebagai milk al-yamin.

Dekalog hanya melarang tinaf. Tinaf sering diartikan jika seorang lelaki seks (zina) dengan istri orang lain. Maka keduanya dianggap sedang tinaf. Pengertian ini terus berkembang disesuaikan dengan ketubah masing-masing.

Jadi, perkawinan Israil adalah perkawinan berdasarkan akad. Contract marriage. Akad itu disebut ketubah. Itu dicatat dan disaksikan. Sebelum terjadi ketubah, dilakukan kedushin, yaitu semacam pertunangan. Kedushin dan atau ketubah pasti disertai dengan mahar. Ketubahnya khusus, dengan pemberkatan, dan dicatatkan. Persis hukum sipil/perdata.

Secara adat pada masa lalu, terutama dalam masyarakat patrilineal dan patriarkat, ketubah lazimnya hanya melarang seks ekstra-marital dilakukan seorang istri sehingga seorang lelaki boleh mengambil istri kedua, ketiga dst atau selir (sebanyak-banyaknya). Kekristenan mengembangkan ini sehingga akad itu juga adalah (sebaiknya dalam ketubah itu) pria tidak boleh melakukan sebaliknya jika telah menikah.

Nah! Maka itu kita kemudian melihat midrash Muhammad menekankan hal tersebut mengenai ayat-ayat yang kerap dijadikan dalil bagi poligami. Padahal, maksudnya adalah ini. Saya pernah sampaikan, malah midrash tersebut sebetulnya tidak membatasi berapa jumlah istri, tetapi justru menegaskan sebaiknya monogami.

Dengan pengertian baru ini, maka tinaf juga termasuk suami melakukan seks non-marital dengan perempuan lain.

Untuk itulah diperlukan respon-respon terhadap masalah-masalah aktual pada masa itu seperti jika seorang pria merantau, dan terhadap budak serta abdi perempuan yang dimiliki seorang pria. Respon-respon Muhammad konsisten dengan Imamat dan Ulangan.

Yang membedakan istri dengan yang kemudian Syahrur sebut milk al-yamin adalah dalam hal kedushin dan ketubah. Dalam banyak kasus ketubah secara tertulis tidak diperlukan, dan mahar juga terserah pihak perempuan, atau perjanjian dalam bentujk lain seperti ghandarwa dan prajapatya di India purba. (Lihat kasus Tamar dan Yehuda). Jadi, jika mereka berpisah, perempuan tidak perlu mendapat get untuk membuktikan dirinya perempuan lajang yang bebas menikah. Adapun istri harus mendapat get terlebih dahulu. Dalam Islam, padanannya ialah surat talak.

Oleh karena itu, milk al-yamin dapat berwujud macam-macam mulai dari mut’ah, mihsyar, dsb termasuk “kumpul kebo” atau “samen laven”. Bentuk purbanya adalah pilegesh, atau perseliran, yang biasanya dulu terjadi karena beda kasta, jadi tidak mungkin melakukan ketubah secara khusus, atau karena suku berbeda dimana ada larangan eksogami, dan budaya kyriarki dimana ada kasta-kasta perempuan, selain kasta-kasta yang biasa kita kenal saat ini. Di Jawa, misalnya ada kasta perempuan yang pasti akan jadi garwo padmi seorang bangsawan, tapi perempuan lain terpaksa tetap jadi garwo ampilnya (seperti ibu kandung Sosrokartono dan RA Kartini).

 

Consent Sex…

Yang sering luput dari perhatian para feminis Kristen dan Islam ialah bahwa dalam adat istiadat Yahudi perempuan berhak menyatakan penolakannya untuk tidak bersedia melakukan seks. Jika hal ini dilanggar baru disebut sebagai perkosaan. Bentuk persetujuan bisa terjadi dengan mengatakannya atau diam. Itu sebabnya kasus Dinah putri Yakub dapat ditafsirkan berbeda-beda (1. Ia diperkosa; 2. Ia tidak diperkosa tapi eksogami dan dipermalukan).

Adab yang dianjurkan oleh para patriark Alkitab dan Alquran mensyaratkan consent dari para perempuan sebelum seks. Abisheg tidak berhasil membuat Daud menikahinya, meski bertugas menghangatkannya. Kita harus adil menilai kisah itu dalam masyarakat purbakala, dan tahap demi tahap peradaban: dari masa hidup berkawanan, ke masa hidup kesukuan, lalu masa hidup kerajaan-kerajaan. Semua ini penting untuk dapat mengerti cerita-cerita dalam Alkitab dan Alquran.

Jadi, seks non-marital yang dimaksud Syahrur tidak melanggar syariat ialah dalam konteks purbakala bagi masa sekarang. Tetap selaras dengan Dekalog. Pengertian seks non-marital ialah seks ekstra-marital maupun seks pra-marital. Dalam konteks saat Syahrur, ijtihadnya adalah untuk merespon masalah klasik umat Islam yang memandang seks pra-marital itu berdosa.

 

Polemik Zina…

Walatakrobatulzina seharusnya berarti jangan mendekati pelacuran.
Entah kapan dan bagaimana kata zonah meliputi seluruh seks non-marital?

Kata perzinahan yang berasal dari kata “zonah”, terlanjur dipahami sebagai seks pra-marital juga dalam perkembangan fikih Islam berikutnya. Padahal, kata “zonah” berkaitan dengan pelacuran. Seks pra-marital tidak harus termasuk sebagai seks ekstra-marital. Ini yang acap kali rancu dalam fikih Islam, akibat exxageration dalam arti commit adultery. Jadi, saya tak akan bahas soal dalil yang Syahrur pakai untuk 4 saksi sebagai syarat sah vonis zina, karena arti kata zina-nya telah melampaui maksud kata tinaf.

Seks pra-marital menjadi masalah dalam masyarakat patriarkat dan patrilineal karena mereka harus memastikan nasab dari seorang pria. Dalam masyarakat matriarkat dan matrilineal, siapa ayah seorang anak yang dikandung ibu tidaklah penting (sama sekali, hehehe) karena harta waris dan nasab dari garis ibu.

Alkitab dan Alquran, lagi-lagi, hanya merespon hal-hal dimana umat yang mengakui Kisah Sinai itu hidup. Andai Paulus atau Muhammad berada di suku Mosuo atau di Minangkabau, midrash mereka akan berbeda lagi.

Ini adalah sebab saya kerap mengatakan tidak semua seks pra-marital adalah berdosa.

Bagi saya seks yang berdosa ialah seks yang tidak bertanggung jawab. Baik dengan ketubah maupun tidak, pria dapat menelantarkan anaknya, begitu juga sebaliknya. Hubungan tak harus selalu berhasil…

Pria yang beradab pastinya akan bertanggung jawab jika perempuan yang bercinta dengannya mengandung, mau ikut membesarkan anak itu. Budaya patriarkat dan patrilineal telah menyebabkan semacam pra-kondisi bahwa anak yang sah hanyalah melalui bentuk perkawinan dengan ketubah, dan tidak yang lainnya. Ini telah menimbulkan masalah kemanusiaan selama berabad-abad!,

 

Pembuka Jalan Bagi Kesetaraan Manusia…

Milk al-yamin dalam perspektif baru Abdul Aziz merupakan suatu gagasan untuk memulihkan masalah itu, dengan mengambilnya dari gagasan Syahrur. Ia harus bisa menjadi respon bagi masalah-masalah kemanusiaan saat ini, seperti karena dianggap aib lalu meningkatlah kasus keguguran, dan akhirnya perempuan mati karena aborsi ilegal.

Saya pikir ia berpandangan ini karena kita pun tak hidup lagi pada zaman patriarkat dan patrilineal kaku. Islam juga telah berkembang di wilayah-wilayah matrilineal dan bilineal.

Dalam kasus-kasus yang dikhuatirkan dan dijadikan dalil mengecam Abdul Aziz, misalnya:
Negara bisa saja mengatur UU bahwa jika seorang didapati memiliki DNA seperti seorang fulan, maka ia sah sebagai anaknya. Dapat diatur hak dan kewajiban satu sama lain.
Kalau pun negara belum dapat melakukannya, pihak keluarga harus dapat memulainya dengan pendidikan seks bertanggung jawab. Keluarga-keluarga harus belajar tetap mendukung dan tak memberi stigma jika anak-anak perempuan mereka ditinggalkan para pria baik kekasihnya, suaminya, atau yang lainnya. Termasuk, bila diperkosa! (Andai mereka tahu rahasia cerita Maria dalam madrase Alquran).

Di samping itu, bagi saya seks yang bertanggung jawab itu termasuk tidak melakukan seks ekstra-marital, baik si suami atau si istri, yang melanggar ketubah mereka. Perkosaan adalah termasuk seks tidak bertanggung jawab, karena salah satu pihak tidak consent.

Pada masa kita saat ini, bukan hanya pebinor yang dikecam, tetapi juga pelakor. Ini karena kita di Indonesia pada umumnya berasal dari masyarakat matrilineal dan bilineal, bukan patrilineal. “Jejak-jejak”” matriarkat masih kuat dalam masyarakat kita, kalau kita mau sadari.

Jika saya melakukan midrash, untuk konteks hari ini, kalau suami ingin berpoligini, maka mereka harus mengubah ketubah mereka masing-masing secara sukarela, tidak boleh ada tekanan atau paksaan. Kalau tidak, bagi saya, menikah lagi diam-diam atau memaksa istri pertama sampai rela dimadu adalah bentuk tinaf masa kini. Dengan begini, ketubah juga bisa saja membolehkan istri menikah lagi (baca: poliandri), asalkan pihak suami bersedia. (Karena pengertian tinaf juga telah berkembang dan adat soal ketubah teramat beragam). Teks Alquran sendiri telah me-midrash seks dengan abdi yang masih milikyang lain / menikah, itu seks legal, seperti yang sudah saya sempaikan di atas.

Dengan memahami hal-hal ini, maka kita akan mengerti apa yang menyebabkan perselisihan tafsir terhadap kisah Daud dengan Batsheba. Kita juga dapat memahami kisah Sukaynah cicit Muhammad yang mengajukan cerai karena suaminya telah melanggar ketubah mereka dengan mengawini milk al-yamin si suami.

Pendekatan saya ini tidak mainstream, saya tahu. Tapi, kalau pendekatan saya dianggap liberal atau bermasalah, maka yang bermasalah sebenarnya adalah kalian sendiri. Atau, stigma masyarakat dan pola pikir masyarakat umumlah yang bermasalah. Sebab, ia hadir untuk memberi solusi kebutuhan seks milyaran manusia yang beragam habitat, profesi dan budayanya.

Kalau sudah bersepakat dalam akad nikah, ya berkomitmenlah dengan itu, atau ajukan pembatalan akad itu kalau sudah tidak cocok lagi. Kalau sudah melakukan seks dengan seseorang, ya bertanggung jawab. Anda manusia, bukan kucing atau monyet.

Kalau pria yang berhubungan seks dengan Anda tak mau ikut bertanggung jawab atau masyarakat menstigma Anda, masalahnya bukan pada Anda. Tapi, Anda mendapat tantangan harus membesarkan anak dalam kandungan Anda. Jika Anda melakukannya, dengan baik, Anda telah memenuhi tanggung jawab Anda (sebagai manusia). Ini bisa Anda terapkan bagi anak perempuan Anda atau anggota perempuan dalam keluarga Anda jika mengalaminya.

Dalam surah Almukminun 1-11, sangat jelas bahwa Muhammad justru hendak menunjukkan kasih sayang Allah begitu luas. Pria maupun perempuan yang tidak melanggar ketubah apapun, dan kemudian consent untuk melakukan seks (malakat aymatuhum) , baik dengan ketubah atau pun tidak, yang rendah hati dalam berdoa dan beramal sedekah, akan mewarisi surga. Sesuai dengan syahadah Muhammad yang dicatat 114 kali dalam Alquran: bismillahirrahnirahiim.

Rahayu,
RA Gayatri WM

Leave a comment