2. DEKALOG DALAM SANUBARI BANGSA JAWA


lovingred
Kendati saya terlahir dari sepasang orangtua yang memiliki latarbelakang beragam etnis, saya diasuh dan dibesarkan dalam dominasi budaya Jawa. Kakek dari sebelah ibu saya, seorang priyayi yang fasih berbahasa Belanda tetapi sangat mendalami falsafah Jawa. Sementara itu, kakek dari sebelah ayah saya, seorang saudagar beretnis Tionghoa yang juga mengajar bahasa Jerman, tetapi sangat akrab dengan macapatan khas Madura yang kisah-kisahnya diambil dari cerita-cerita Jawa juga. Bagi saya, falsafah Jawa sama adiluhungnya dengan falsafah bangsa-bangsa lain, kaya oleh simbol dan senantiasa mempunyai lapisan makna yang jika digali semakin dalam akan saya temukan akar yang satu dan konsisten dengan falsafah bangsa-bangsa lain.

 Sewaktu kanak-kanak, kakek dari sebelah ibu saya yang biasa saya sebut Mbah Kakung, selalu mengajarkan “Kulinano sing gedhe nggo wong liyo,” yang berarti biasakanlah untuk memberikan yang lebih besar untuk orang lain. Sebuah falsafah yang jika lapis demi lapisnya dibuka akan saya temukan sebuah metode spiritual yang sederhana untuk menghancurkan ego. Tidak pernah mudah memberikan porsi yang lebih besar untuk orang lain, bahkan tidak kepada saudara kita sendiri.

 Agama adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di dalam Jalan ini, untuk dapat dekat dan selalu bersama dengan-Nya seseorang hanya bisa jika dapat menghancurkan egonya, atau ke-aku-annya. Inilah agama yang dianut, ditempuh dan diajarkan oleh  Nabi Adam dan Hawa (as) sampai kepada  Nabi Muhammad (saw). Orang-orang yang beragama sudah semestinya adalah orang-orang yang beriman, tetapi apakah iman yang mula-mula yang telah ada dan terus dipelihara dari sejak Nabi Adam dan Hawa (as) sehingga kepada Muhammad (saw)? Ternyata, wahyu yang diterima oleh Nabi Adam dapat ditemukan dalam berbagai kedudukan yang terpelihara dalam seluruh tradisi keagamaan dan budaya di dunia. Wahyu ini dikukuhkan kembali dalam loh batu dan disaksikan oleh banyak manusia pada zaman Nabi Musa (as).

Sejarah telah mencatat Nabi Musa (as) memperoleh Wahyu yang kini dikenal sebagai Sepuluh Perintah Tuhan atau Dekalog. Salinan-salinan Wahyu itu kemudian menjadi di antara dokumen tertulis yang tertua di antara dokumen-dokumen wahyu lain yang ada di muka bumi ini. Peristiwa ini tercatat dalam Alkitab maupun AlQur’an (Qs. 2: 53). Dekalog yang terdapat dalam Keluaran 20:1-17 mengikhtisarkan sifat pokok dalam hukum Illahi yang fundamental dan universal. Prinsip-prinsip dasar keadilan tersebut menjadi fondasi spesifik dalam perjanjian (baiat) bani Israil. Hukum ini, kendati spesifik terhadap bani Israil dalam bentuknya dicatat pada batu, juga dicatat ke dalam hati manusia dalam suatu perjanjian baru, yang selalu ditekankan kembali oleh para nabi dan kaum bijak bistari yang mendapat bimbingan Illahi.

Apabila kita mampu mencermati Dekalog, maka sesungguhnya ia menjadi begitu mendasar dan menjadi benang merah antara berbagai ajaran agama dan tradisi bangsa-bangsa yang mengajarkan dan menekankan sebagian besar bahkan seluruh butir-butir dalam Dekalog sebagai dasar-dasar iman maupun kebajikan mereka.

 Mutiara yang terkandung dalam Dekalog sesungguhnya sama sekali tidak asing dalam falsafah Jawa. Bangsa Jawa yang menghayati khazanah spiritual leluhurnya sendiri pasti mengenal dengan baik “Manunggaling kawulo gusti”. Istilah ini acapkali disalahpahami sebagai bentuk pantheisme padahal ia merupakan sebuah ungkapan tauhid yang menggugurkan ego dan menyatakan hanya Tuhan-lah satu-satunya realitas sehingga hanya kepada Dia-lah diri ini mengabdi dan tunduk kepada-Nya. Butir-butir pertama hingga ketiga Dekalog menekankan prinsip-prinsip tauhid atau bahasa kerennya panentheisme sebagaimana ungkapan “Manunggaling kawulo gusti” yaitu

(1) satu-satunya realitas dan hakikat sejati hanyalah Tuhan;

(2) Tuhan memanifestasikan diri-Nya pada segala sesuatu dan Tuhan meliputi serta melampaui segala sesuatu, sehingga kita tidak bisa mendapati segala sesuatu selain Dia sebagai hakikat atau realitas (baca: menyembah mereka sebagai tuhan). Sebaliknya, kita mesti terus mendekati dan menuju kepada satu-satunya realitas Yang Maha Esa dan tidak boleh sembarangan menilai yang segala yang ada di alam raya karena semuanya adalah ciptaan atau manifestasi Dia belaka;

(3) sebagai bentuk ketundukan sepenuhnya kita kepada Tuhan maka kita tidak boleh sembarang memanggil-Nya. Apalagi sebagai seorang Jawa, dikenal unggah-ungguh dan tatakrama dalam memanggil dan bertutur-kata, apatah lagi kepada Tuhan.

 Pada waktu kecil saya dan adik-adik saya diajarkan banyak lagu anak-anak khas Jawa seperti Cublak Cublak Suweng dan Lir Ilir yang ternyata setelah dewasa dan mendalaminya, lagu-lagu ini sarat makna yang dalam. Lagu-lagu ini konon diciptakan oleh Walisongo untuk menanamkan nilai-nilai Islam dengan ungkapan khas Jawa yang penuh simbol. Selain itu lagu Sluku Sluku Bathok juga tak asing, berbunyi:

Sluku-sluku bathok; Bathoke ela-elo Si Romo menyang Solo; Oleh-olehe payung potho Mak jenthit lolo lobah; Wong mati ora obah Yen obah medeni bocah; Yen urip goleko dhuwit

Pernikahan Adat Jawa

Butir keempat Dekalog menekankan setelah enam hari bekerja, mengejar dunia, maka satu hari diperuntukkan hanya untuk Dia, dan menanggalkan fokus terhadap dunia hanya kepada Tuhan selama satu hari. Lagu anak-anak ini mengandung pesan penting untuk memberikan satu waktu khusus hanya untuk Tuhan, untuk membersihkan batin kita, untuk sholat dan untuk berzikir, kemudian untuk menyadari bahwa hidup kita jika tak sadar bagaikan orang mati, maka harus bangkit karena hidup di dunia ini sementara, dan mengumpulkan sebanyak-banyak bekal untuk kehidupan berikutnya. Tentu saja, pada hari-hari selain itu, kegiatan sholat, zikir, dan lainnya harus tetap dilakukan. Namun, satu hari berhenti dari pekerjaan dunia untuk mengabdi kepada Tuhan saja tidak ditujukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia itu sendiri, agar mereka dapat berlatih memfokuskan diri dan hidup dalam keseimbangan.

 Butir keempat Dekalog ini sebenarnya juga mengandung suatu prinsip pemeliharaan alam sekitar, serta perlindungan terhadap hak-hak para pekerja untuk mendapatkan cuti dalam bekerja. Kita bisa membayangkan sekiranya selama setengah hari saja dunia berhenti dieksploitasi sehingga penggunaan tenaga listrik, penggunaan air, kendaraan dan sebagainya menurun; dan ini dilakukan setiap seminggu sekali. Peribahasa Jawa mengatakan, Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara  yang artinya adalah manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Hal ini-lah yang termuat mula-mula dalam butir keempat Dekalog, yakni manusia dilatih untuk tidak tamak yaitu tidak terus menerus mengeksploitasi dunia dan orang-orang yang bekerja padanya atau dia sendiri yang bekerja terus-menerus untuk dunia. Jadi, prinsip keseimbangan alam dan kehidupan sebagai manusia sangat menonjol dalam perintah ini.

Peribahasa ini lebih jauh termuat secara pendek dan ringkas dalam butir-butir Dekalog berikutnya, yakni butir keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan hingga kesepuluh yaitu sebagai berikut:

(1)      Dilarang membunuh, yang bermakna mengusahakan keselamatan seluruh manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Oleh sebab itu, bahkan dalam menyembelih hewan-hewan pun tidak boleh sembarangan, juga tidak semua hewan bisa dimakan.

(2)      Dilarang mencuri, yang bermakna untuk mengusahakan kesejahteraaan bersama, tidak melakukan korupsi, dan mengambil hak-hak orang lain.

(3)      Dilarang berzina, yang bermakna untuk mengusahakan kebahagiaan bersama karena hubungan manusia dengan manusia lain bahkan dengan makhluk seluruhnya mewakili bagaimana sesungguhnya hubungannya dengan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan selalu dilibatkan dalam setiap hubungan yang ada apakah persahabatan, juga perkawinan. Perkawinan acap kali muncul dalam beberapa literatur klasik Jawa sebagai simbol bersatunya manusia dengan Tuhan yang mana bersatunya tidak bercampur, demikian pula suami dengan istrinya yang walaupun bersatu tetap berbeda dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan perzinaan adalah bentuk menyingkirkan Sang Hakikat dan menggantikannya kepada seorang manusia atau makhluk lainnya dalam sebuah hubungan yang intim. Jadi perzinaan tidak lain adalah menyatakan Tuhan tidak ada, tetapi aku saja yang ada.

(4)      Dilarang menginginkan kepunyaan tetangga atau saudaramu, yang bermakna sebuah metode spiritual tingkat tinggi yang dianjurkan oleh Tuhan untuk menekankan keinginan, hawa nafsu dan sifat serakah yang selalu ada pada diri setiap insan agar dia mampu mencintai sesama manusia sebagai perwujudan cintanya kepada Tuhan.

 Butir kelima dalam Dekalog adalah menghormati orangtua. Peribahasa Jawa menyebutkan, mikul dhuwur, mendhem jero yang secara harafiah berarti “memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam.” Peribahasa ini bermakna jasa seorang pemimpin atau orang tua harus dijunjung tinggi sedangkan kesalahannya harus ditutupi. Tentu yang di sini lebih diutamakan kepada orangtua karena mereka adalah pemimpin kita yang mula-mula sekali dan banyak sekali jasanya kepada kita daripada orang-orang lainnya. Kita dianjurkan untuk selalu mendoakan orangtua dan memohon ampun atas dosa-dosanya, serta berupaya menutup aib-aibnya demi menjaga kehormatan mereka.

Peribahasa Jawa lain yang sangat sederhana dan biasa dikatakan oleh rakyat jelata adalah Ngono ya ngono ning aja ngonoUngkapan ini merupakan sebuah kebijaksanaan sederhana yang mana kita diberikan kebebasan dalam berbuat dan berkehendak, tetapi tetap selalu berada dalam lingkaran atau batasan. Maka, walaupun tidak pernah secara eksplisit disebutkan Dekalog sebagai batasannya, tetapi budaya Jawa ternyata sangat mengandung prinsip-prinsip Dekalog tersebut.

RA Kartini

Dalam hal ini, bangsa Jawa terkenal sangat tidak menghormati orang-orang yang tidak memiliki budi pekerti kepada orang tua. Anak-anak dibiasakan untuk sungkem kepada orangtua atau mencium tangan mereka, serta dalam tutur kata bahasa Jawa tingkat tutur terhadap orangtua berbeda dengan tingkat tutur terhadap rekan sebaya.

Perbuatan suka mencuri atau menjadi koruptor,  yang disebut oleh Ronggowarsito sebagai orang-orang yang gila dalam syairnya menunjukkan betapa hanya orang-orang waraslah yang tidak melakukannya.

Perbuatan asusila seperti suka bermain perempuan atau hobi selingkuh, atau pepatah ngrusak pagar ayu yang berarti mengambil istri orang juga sebuah kebijaksanaan Jawa yang menandakan tertanam kuatnya nilai Dekalog.

 Di samping itu melakukan pembunuhan sebagaimana yang digambarkan dalam cerita asal-usul tulisan Jawa, hanacaraka datasawala memberi pesan tentang kesia-siaan atau kebodohan orang-orang yang berkelahi dan saling membunuh satu sama lain. Banyak juga cerita dalam babad-babad Jawa yang menunjukkan pembantaian yang dilakukan para raja Jawa tidak menghasilkan kebaikan kecuali dendam dari generasi ke generasi serta menumbuhkan keinginan untuk terus menguasai dan digdaya.

Yang terakhir adalah tidak memiliki sifat-sifat iri dan rakus. Penegasan untuk tidak bersikap begitu rakus dunia dijelaskan oleh peribahasa bandha titipan, nyawa gadhuhan dan pangkat sampiran, yang berarti bahwa segala yang dimiliki di dunia ini hanyalah titipan Tuhan. Jadi, juga termasuk apa yang dimiliki oleh tetangga. Rumput tetangga boleh saja terlihat lebih hijau, tetapi rumput kita juga sesungguhnya sama semunya. Jadi untuk apa mengejar berlebihan dan mengejar sekadar keinginan dan memuaskan hawa nafsu saja?

Ungkapan-ungkapan bijak bistari Jawa ini tentu saja masih banyak lagi dan masih perlu digali terus-menerus sebagai suatu warisan yang mesti dipelihara dan dihayati sesuai relevansi kekiniannya. Dari sini kita mengetahui bahwa Dekalog nyata-nyata demikian tertanam dalam sanubari setiap orang Jawa, meski pun dari masa ke masa para pendakwah agama-agama datang silih berganti memberikan pengaruhnya, begitu pula bangsa-bangsa asing.

 Pada akhirnya kita hanya akan menemukan bahwa bangsa Jawa memang telah meneruskan dan memelihara fondasi-fondasi iman yang telah diajarkan oleh Nabi Adam (as) sehingga datangnya Nabi Muhammad (saw) yang semakin memperkaya khazanah spiritual bangsa Jawa. Walaupun di percaturan dunia seakan-akan bangsa Jawa tidak memiliki peran yang berarti, tetapi sungguhnya ia seperti pepatahnya sendiri yang menyatakan asu belang kalung wang, yakni walaupun miskin tetapi ternyata kekayaannya berlimpah. Hanya saja kekayaan ini mungkin terlupakan dan perlu digali kembali, sebab ternyata bahkan petatah-petitihnya yang sederhana, serta terkesan lucu dan humoris, mengandung makna yang sangat dalam dan sangat penting bagi pelatihan spiritual untuk menghancurkan keakuan dan menemukan bahwa hanya ada satu hakikat: Tiada aku, hanya ada Tuhan. Dan, sebagai manifestasinya ke dunia, menjadikan manusia Jawa sebagai manusia-manusia seutuhnya. Bibit, bebet, bobot yang sejati.

2 Replies to “2. DEKALOG DALAM SANUBARI BANGSA JAWA”

  1. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945 .

Leave a comment